Kamis, 26 Maret 2009

Data Berkualitas.....?

by: Panular Dinu Satomo, SST

Menyikapi Data Dengan Bijak......

by: Panular Dinu Satomo, SST

Kadangkala, kita mendengar ada beberapa kalangan yang mempersoalkan data yang dikeluarkan oleh pihak lain. Sebagai contoh adalah:setiap muncul data kemiskinan seringkali menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mempercayai, namun banyak juga yang menyangkal. Perbedaan tersebut berkaitan dengan cara pandang (perspektif) pengguna data tersebut dalam melihatnya.

Perlu diketahui bersama, bahwa ada beberapa konsep yang bisa dipakai dalam menentukan batasan kemiskinan. Ada yang dilihat berdasarkan pendapatan perkapita, ada yang dilihat berdasarkan konsumsi perkapita, atau bahkan bisa dilihat berdasarkan aset-aset yang dimiliki.

Dalam menyikapi masalah data kemiskinan yang ada di Indonesia, maka wajib bagi para pengguna data untuk memahami konsep apa yang dipakai sebagai dasar dalam menentukan kemiskinan. Sehingga kerangka pikir tentang data kemiskinan bisa seragam.

Setelah kerangka berpikir sudah seragam antara pembuat data dengan pengguna data, maka segala respon yang berkaitan dengan data tersebut bisa disandingkan secara bijak dan terukur.

Wassalam.

Tolitoli, 27 Maret 2009.

Selasa, 24 Maret 2009

Pembangunan Pendidikan di Indonesia

Pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan yang cukup besar. Wajib Belajar 6 tahun, yang didukung pembangunan infrastruktur sekolah dan diteruskan dengan Wajib Belajar 9 tahun adalah program sektor pendidikan yang diakui cukup sukses. Hal ini terlihat dari meningkatnya partisipasi sekolah dasar dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996, sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen tahun 1993 menjadi 80 persen tahun 2002 (Oey-Gardiner, 2003).

Tetapi dibalik keberhasilan program-program tersebut, terdapat berbagai fenomena dalam sektor pendidikan. Kasus tinggal kelas, terlambat masuk sekolah dasar dan ketidakmampuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi merupakan hal yang cukup banyak menjadi sorotan di dunia pendidikan. Kasus putus sekolah yang juga banyak terjadi terutama di daerah pedesaan menunjukkan bahwa pendidikan belum banyak menjadi prioritas bagi orang tua. Rendahnya prioritas tersebut antara lain dipicu oleh akses masyarakat terhadap pendidikan yang masih relatif kecil, terutama bagi keluarga miskin yang tidak mampu membiayai anak mereka untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Selain itu, ujian akhir sekolah dianggap tidak dapat menjadi ukuran kemampuan murid. Nilai rata-rata ujian akhir yang rendah seringkali diikuti oleh persentase kelulusan yang cukup tinggi. Pada tahun ajaran 1998/1999, rata-rata nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA di Indonesia adalah 3,99. Padahal nilai minimum untuk lulus adalah 6. Tetapi pada periode tersebut, 97 persen siswa SMA dinyatakan lulus (Oey-Gardiner, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ujian akhir bukanlah satu-satunya alat untuk menyaring kelulusan murid.

(http://demografi.bps.go.id/)